Kadangkala pertanyaan di atas juga dilanjutkan dengan pertanyaan : "Pilih mana, ikut Rasulullah SAW atau ikut Ulama madzhab?"
Saya yang lumayan goblok dalam beragama ini mencoba merenung dengan perdebatan soal 'pilih dalil atau madzhab' di atas dengan sebuah analogi :
Pilih mana, wortel atau atau lumpia? Wortel adalah 'dalil', dan lumpia adalah 'madzhab'.
Dalil itu sumber hukum, madzhab itu produk hukum.
Bisakah kita langsung mempraktikkan Agama ini langsung mengambil dari 'dalil'nya? Alias apa-apa yang termaktub di dalam Al Quran dan Hadits?
Kalo hidup di zaman Shahabat, hal itu mungkin. Sebab perkara-perkara yang mereka ngga jelas apa maksud dari dalilnya, bisa langsung mereka tanyakan kepada Rasulullah SAW, selaku penafsir dalil tertinggi. 'Koki' tunggal yang hebat, ahli, mulia, dan paling menguasai "how to cook and serve a carrot"
Zaman makin maju, ekspansi wilayah Umat Islam kian membesar. Umat berinteraksi dengan berbagai suku bangsa, ras, budaya, bahkan agama.
Ketika Rasulullah SAW tiada lagi bersama di tengah umat, siapa yang bisa menjadi rujukan setelah beliau? Jawabnya adalah : para ULAMA. Merekalah pewaris nabi Muhammad SAW.
Para Tabiin bertanya kepada Ulama-ulamanya Shahabat. Para Tabiut Tabiin bertanya kepada ulama-ulamanya Tabiin. Dan begitu seterusnya. Demikianlah Allah menjaga Agama ini, dengan cara mengeksiskan para Ulama selaku pewaris Nabi SAW.
Para Ulama-ulama itu, di akhir masa Tabiut Tabiin, ada 4 yang menjadi "bintang cemerlang", yang dikenal dengan 4 Imam Madzhab (Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali). Merekalah yang berhasil merumuskan kaidah dan metodologi (manhaj) beragama dengan kehebatan dan keistimewaannya.
Istimewa otaknya, ibadahnya, ketaqwaannya, zuhudnya, wara'nya, ruhiyahnya, akhlaqnya, daya ingatnya, logikanya, menulisnya, sastranya, sejarahnya, sampai pemahaman terhadap lingkungan tempat mereka tinggal.
Dari ke-4 orang inilah, kemudian Umat Islam mewarisi apa-apa yang mereka tidak dapat dari Rasulullah (sebab tidak bertemu langsung atau hidup sezaman dengan beliau Shalallahu Alaihi Wassalam).
Para Ulama pewaris 4 Imam Madzhab ini, mengembangkan manhaj dari gurunya, dengan kapasitas mereka masing-masing. Mereka berijtihad, atas perkara-perkara yg belum dibahas, didetilkan, atau terjadi di masa Imam-imam itu.
Itulah FIQIH. Berkembang dari masa ke masa. Namun jika dirunut, akan sampai benang merahnya ke 4 Imam Madzhab itu, dan -pastinya- akan sampai ke Tabiin, ke Shahabat, dan ke Rasulullah SAW.
Jadi, sampai di sini kita paham, kan, kenapa di dunia ini terdapat banyak sekali jenis dan isi fiqih yang berbeda-beda dari tempat satu dan tempat lainnya? Sebab isi kepala 4 Imam Madzhab itu berbeda-beda juga.
Cara pandang dan pemahaman mereka atas suatu 'DALIL' itu berbeda. Murid mereka mengembangkan manhaj gurunya, dan jumlahnya makin banyak dari zaman ke zaman. Karena itu, jumlah 'cabang' madzhab bisa sangat banyak karena 'beranak-pinak' dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat.
Kembali ke analogi wortel-lumpia dan dalil-madzhab tadi : Bisakah mempertentangkan keduanya?
Saya tanya balik, "Bisakah Anda langsung makan wortel, tanpa mengolahnya menjadi masakan atau sajian yang lain dahulu?"
JAWABANNYA : Bisa, namun sulit. Hampir-hampir tak masuk akal. Lho, gimana?
Anda bisa langsung konsumsi wortel secara mentah, tanpa diolah menjadi masakan. Tetapi setidaknya cabut itu wortel dari tanahnya, jangan makan sekalian tanahnya. Nggilani.
Setelah dicabut, bersihkan dari tanah yg masih nempel, lalu setidaknya cuci sampai bersih.
Kalo wortel itu organik, bisa Anda konsumsi langsung setelah itu. Namun bila tidak, maka bijaksananya adalah mengupas kulit luarnya, atau pisahkan bagian tengahnya yg mengandung pestisida. Silakan makan bila gigi Anda kuat.
Bila tidak, atau rasanya enggak asyik, maka kukus dulu dengan air bawang, biar gurih.
Nah, kan? Bahkan mengkonsumsi wortel pun tetap memerlukan sedikit olahan. Sulit bila dimakan langsung.
Dalil juga begitu. Penggunaannya ngga bisa 'mentah lalu caplok' begitu saja. Harus diolah oleh yg berkompeten. Itulah Ulama. Mereka yg paling paham 'resep' dan prosedur mengolah 'wortel dalil' menjadi 'masakan fiqih' yang tepat guna untuk Umat ini.
Lumpia tidak hanya terkandung wortel aja. Ada rebung, bawang putih, minyak goreng, kulit lumpia, garam, dan lain sebagainya. Dalam beragama, kita ngga bisa mengambil suatu persoalan dari satu dalil, dan mengabaikan aspek lainnya.
Kalo kamu membaca hadits tentang "Keutamaan wanita muslimah di rumah", tidak lantas kamu mengambil hukum "Ooohh, jadi wanita ngga usah bekerja ya, di rumah aja...."
Kalo kamu tinggal di Arab Saudi, mungkin hadits ini bisa dipakai. Cukuplah wanita masak nasi kebuli buat suaminya sepulang bekerja, merias wajah di depan cermin untuk suaminya, berhaji dan umroh, menabung, menyisihkan duit buat qurban, belajar hadits dan quran rutin tiap pekan, lalu tamasya dengan keluarganya. Juga pakai zaitun, siwak, dan habbatussauda dengan tenang, aman, tenteram.
Tapi kalo kamu tinggal di Indonesia, realitanya, para wanita harus membanting tulang untuk membantu perekonomian keluarga. Sampai dibelain pulang malam ngelembur, bahkan beresiko nyawa dan kehormatan. Tetapi semua tetap harus dilakukan demi bertahan hidup di negeri ini.
Jadi, kalo kamu jumpai ada satu atau dua hadits yang menyebutkan suatu perkara, jangan telan-telan hadits itu. Apalagi menyalahkan sebagian umat Islam yang nampak 'bertentangan' dengan isi hadits yang barusan kamu baca, dengar, atau simak di Youtube (atau majelis-majelis yang lain).
Kalo kamu baca ayat tentang bolehnya kawin sama dua, tiga, atau empat istri, jangan kamu jadikan pijakan mentah "Tuh kan, gue boleh ngebini sama 4 orang wanita, ada ayatnya" tetapi mengabaikan aspek lain : sosio-kultural lingkungan, psikis istri, psikis anak-anak, perencanaan keuangan, manajemen konflik keluarga besar, sampai ukuran rumah.
"Ahh, kan ALlah Maha Kaya!"
Iya sih, bener. Tetapi engga juga ngandalkan keyakinan begitu, lantas mengabaikan ikhtiar. Seperti ketercapaian modal menafkahi, edukasi keluarga dalam rangka persiapan poligami, dan potensi konflik bila tinggal serumah. Inget perjuanganmu di masa jomblo dahulu, betapa berharganya nyari istri satu. Hehehehe....
(Ehh, kok ngomongin poligami ya? Apa gara-gara aplikasi YukPoligami yang lagi nge-hitz itu yaa...)
Kalo kamu jumpai ada hadits tentang sebuah larangan, jangan kamu telan mentah-mentah 'Ini adalah haram'. Istilah fardhu, mahbub/sunnah, mubah, makruh, dan haram itu diciptakan Ulama-ulama setelah generasi Shahabat. Nggak ada di zaman Rasulullah SAW. Para ahli fiqih meneliti, mencermati, dan mengukur secara hati-hati mengenai maksud dan tafsir suatu ayat atau hadits.
Oh ini dibolehin, yang ini dibolehin dan berpahala, yang ini harus dilakukan, yang ini gak boleh dilakukan, yang ini lebih baik tidak dilakukan, dan seterusnya. Klasifikasi itulah yg dikenal dengan "Fiqhul Ahkam" (fardhu, sunnah, mubah, makruh, dan haram yang saya sebut di atas). Itu terjadi di zaman Imam Madzhab. Tidak di era Rasulullah, juga era Shahabat.
Kalo sebuah hadits didhaifkan oleh satu Ulama, hormati juga Ulama lain yang menshahihkannya, atau menjadikannya sebagai pijakan beramal. Hadits tentang 'larangan isbal' itu sama para Ulama diteliti, dianalisa, diukur, dan disimpulkan hukumnya secara berhati-hati lho. Ada yang mewajibkan, ada yg sekedar sunnah, ada juga yg mubah.
Boleh-boleh aja celanamu cingkrang (karena bersemangat mengamalkan isi hadits tersbut), tetapi jangan sampai lidahmu isbal (suka mencela, memaki) kepada saudaramu yg lain yg gak mengamalkannya. Itulah keragaman fiqih.
Kalo ustadzmu mengatakan bahwa qunut dalam shubuh itu haditsnya dhaif sehingga nggak boleh diamalkan berdasarkan madzhab Imam Ahmad ibn Hanbal, kamu harus tahu bahwa ada ulama lain yang berijtihad bahwa qunut itu boleh tetap diamalkan berdasarkan pengetahuan dan kapasitas keilmuan beliau. Itulah Imam Asy-Syafi'i.
Bahkan Imam Ahmad pernah ditanya oleh muridnya, "Bagaimana jika kami bermakmum di belakang imam yang berqunut", dan jawaban Imam Ahmad adalah tetap ikuti imam yang berqunut itu. Alias, "Berqunutlah!"
Itu baru satu perkara, yakni bab qunut dalam shubuh. Para Ulama berbeda pendapat dalam lebih banyak hal lagi. Dan itu adalah suatu keniscayaan. Dalam konteks FIQIH inilah, mustahil menyatukan umat dalam "Satu Manhaj Paling Benar dan Paling Sesuai Sunnah". Sebab perbedaan fiqih itu sunnatullah. Aksioma.
Maka, jangan pernah lagi mempertentangkan "Ikut Dalil apa Ikut Madzhab" atau "Ikut Rasulullah SAW apa ikut Imam".
Sebab pada hakikatnya, Dalil itu merujuk pada 'Hadits atau Ayat'. Sedangkan Madzhab itu merujuk pada 'penggunaan hadits-hadits atau ayat-ayat untuk suatu perkara'. Satu Dalil bisa cocok dalam suatu kondisi dan situasi, tetapi mungkin engga cocok buat situasi yg lain.
Setiap yang mengikuti Imam Madzhab, merekalah pengikut Salafush Shalih sejati. MUSTAHIL ada madzhab yang keluar dari pemahaman Quran dan Sunnah. Mengikuti Madzhab pada hakikatnya adalah mengikuti Quran dan Sunnah sesuai dengan manhaj (panduan) yang selamat, benar, dan terpercaya.
Meski demikian, engga masalah kalo kamu hanya ingin makan wortel. Semoga kamu sehat dan tercukupi kebutuhan
Vitamin A dan Beta-Karotennya. Tapi jangan salahin mereka yang ngga bisa makan wortel mentah-mentah.
Kalo saya, bila ada lumpia, sop, jus yang salah satu bahan bakunya wortel, saya akan ambil itu. Saatnya makan siang dehh...